Saturday, March 21, 2009

Bilangan Fu (Bagian- 1)

BILA anda termasuk golongan pemeluk agama yang cenderung fanatik, buku ini boleh jadi terasa terlalu menyentil. Tetapi bagi anda yang cenderung berpikir terbuka, “Bilangan Fu”, demikian judul novel terbaru Ayu Utami, justru membuka cakrawala untuk merenungkan kembali konsep keimanan dan ketuhanan.

Seperti novel-novel karya Ayu yang lain, “Bilangan Fu” mendobrak kemapanan berpikir. Kali ini, konsep Ketuhanan Yang Esa-lah yang dikritisinya. “Spiritualisme kritis”, begitu Ayu menamai nafas novelnya.

Novel ini berangkat dari tiga tokoh utama – Yudha “si iblis”, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat, Parang Jati, “si malaikat”, pemuda berjari duabelas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung beban dunia, dan Marja “si manusia”, seorang gadis bertubuh kuda teji dan berjiwa matahari. Mereka terlibat dalam cinta segitiga yang lembut, di antara pengalaman keras dalam ekspedisi panjat tebing sampai pada penyelamatan perbukitan kapur di selatan Jawa.

Tak sekadar bercerita tentang cinta segitiga, novel ini mengajak pembaca untuk menyelami tradisi purba yang sarat metafora.
Melalui karakter Parang Jati, Ayu menyodorkan cara pandang yang lebih arif tentang spiritualisme. Tradisi purba—seperti menaruh sesaji pada tempat-tempat yang dianggap keramat, melarung persembahan—mestinya tak dipahami an sich sebagai penyembahan pada berhala atau mempersekutukan Tuhan.
‘’Jika dalam sebuah tradisi, kepercayaan tentang siluman dan roh penguasa alam ternyata berfungsi untuk membuat masyarakat menjaga hutan dan air, apa yang jahat dengan kepercayaan demikian? Tidakkah ia setara dengan perintah Tuhan untuk memelihara pohon?’’ tulisnya.

Sikap mengkeramatkan tak dapat dilepaskan dari cara pandang bahwa seluruh alam raya ini ada yang punya, sehingga kita tidak boleh menjarah seenak sendiri. Kita harus kulo nuwun, harus permisi, ketika mengambil apa-apa dari sana. Dan tentu saja, harus tahu batas.
Dengan keterbukaan berpikir seperti itu, kita akan lebih arif menyikapi tradisi lain. Dengan cara pandang seperti itu, kita tak mudah menghakimi keyakinan lain dengan kacamata kita.

3 comments:

  1. Mestinya si ayu utami bisa menambahkan...bahwa agama-agama yang kini mengaku besar itulah yang merusak bumi....tapi dia cukup dewasa untuk menerima perbedaan, maka ia tidak menuliskan itu...gitu kali ya? hehehe....

    ReplyDelete
  2. mereka yang merusak bumi,tak jarang adl orang-orang yang mengaku beragama, rajin berkunjung ke rumah ibadah, rajin melakukan rutinitas ibadah. Tetapi pernahkah mereka memahami nilai-nilainya? Saya rasa, lebih banyak orang yg beragama demi sebuah simbol (lengkap dg keyakinan hitam putih bahwa agama yg dipeluk adalah yg paling benar dan antikritik) daripada menghayati agama sebagai laku spiritual...

    ReplyDelete
  3. wah sepakaattttt dengan berdua yang diatas...

    [quote]
    mereka yang merusak bumi,tak jarang adl orang-orang yang mengaku beragama, rajin berkunjung ke rumah ibadah, rajin melakukan rutinitas ibadah.
    [quote]

    >>>pantes ige ra tau neng greja..lha dia kan aktivis lingkungan...hehehehe

    tapi rapopo ge, mending kowe jik aktivis..timbangane sing ra tau neng greja tur dudu aktivis lingkungan...koyo aku..hihiihi

    ReplyDelete