Thursday, December 13, 2007

# PROYEK


INI hari pertamaku masuk kantor setelah hampir tiga pekan mengikuti beragam training. Belum tuntas melangkah masuk ruang kerja, tiba-tba pandanganku terantuk pada satu set desktop baru di atas mejaku. Gress, dengan monitor layar datar 15 inci generasi mutakhir, kapasitas memory lebih dari 200 Gigabyte, serta program berlisensi Microsoft pula.

Tetapi betapa kagetnya, ketika kubuka sistem komputer itu, tak kutemukan hard disk yang telah dibagi-bagi dalam ruang-ruang berlainan. Orang kerap menyebutnya dengan sistem partisi. Sekilas, aku ingat pesan seorang kawan yang bekerja di perusahaan teknologi informasi,

‘’ Semua perangkat keras mapun perangkat lunak komputer itu mesti dirawat dan di-maintaince dengan benar. Jika tidak, barang sebagus apapun tetap tak akan bekerja optimal. Malah akan sering rewel, karena terjadi bottle neck di mana-mana.’’

Dan mempartisi komputer (-- bagiku ini adalah salah satu cara merawat barang inventarisasi yang dibeli dengan uang rakyat-- ) sebenarnya bukan pekerjaan sulit. Seluruh data dan aplikasi yang telah terinstall hanya perlu di back up karena proses partisi akan menghapus seluruh program aplikasi dan data yang ada di dalamnya.

Sialnya, satu-satunya kelemahanku ketika akan membereskan masalah saat itu adalah, aku tak punya tempat (hard disk lain) untuk memback up data, dan tak punya master program yang dapat diinstallkan ulang.

‘’ Wah, soal partisi-mempartisi hard disk memang tidak disinggung dalam perjanjian. Jadi tak ada kewajiban suplier untuk memberikan servis itu,’’ ujar seorang panitia penerima barang setengah menyalahkan panitia lelang.

Ketika kulaporkan masalah itu kepada salah seorang panitia pengadaan barang kantor, dia menjawab permisif,

‘’ Aduh Dik, saya nggak ngerti soal komputer. Saya kira kemarin sudah semua dibereskan oleh suplier.’’

Sebetulnya, ini bukan kali pertama pengadaan komputer kantor tidak beres. Enam bulan yang lalu, ruanganku juga memperoleh dua unit komputer baru. Tiga divisi tetangga ruang kerjaku juga mendapatkan, masing-masing dua unit. Konon, harga tiap unit kala itu sekitar Rp 8 juta.

Sayang, belum genap sebulan dipakai, komputer itu sering ngadat: mati sendiri tiba-tiba, atau tidak bisa masuk ke sistem operasinya. Setelah lebih dari lima kali teknisi suplier bolak-balik dipanggil untuk memperbaiki, barulah kami tahu penyebabnya.

‘’ Sebenarnya program yang di-installkan ini bajakan. Dari 8 unit komputer yang ada, hanya satu yang programnya berlisensi, selebihnya crack. Wajar kalau sering ngadat dan lebih gampang kena virus,’’ bisik sang teknisi.

Kadang aku tak habis pikir, kenapa orang-orang yang sering terlibat dengan pekerjaan keproyekan seperti tak hirau pada prinsip “ Teliti Sebelum Membeli”. Kalaupun meneliti, sebatas seleksi administrasi dengan standar minimal. Harga murah seringkali menjadi pijakan penentu.

Padahal, tanpa kemampuan memverifikasi secara teknis mutu barang yang dibeli, panitia pengadaan seringkali hanya “diakali” atau malah larut dalam “permainan” para peserta tender.

Belum lagi soal kegunaan barang-barang proyek itu. Seringkali, pengadaan barang dilakukan tanpa melihat kebutuhan pemakainya. Beberapa barang seharga ratusan juta rupiah, bahkan tak pernah dipakai sejak dibeli, karena tak ada yang bisa mengoperasikannya. Ironis bukan?

‘’ Ngapain juga kita dikasih komputer bagus-bagus kalau hanya dipakai untuk mengetik dan berhitung. Kita toh masih bisa menggunakan komputer dengan spesifikasi lebih rendah, lebih murah, ‘’ seloroh seorang rekan.

Namun inilah kenyataannya : di sini, ratusan juta—bahkan miliaran—uang dibelanjakan untuk sesuatu yang mungkin tak terlalu mendesak, belum diperlukan, bahkan mungkin tidak terlalu penting.

Uang itu, kuberitahu kawan, tidak lain berasal dari pajak yang dibayar dengan tetesan keringat petani yang dari tahun ke tahun tercekik rentenir, terjerat utang pupuk yang harganya terus membumbung.

Pundi-pundi yang sering disebut-sebut sebagai pendapatan negara itu tak lain juga pajak atas keuntungan yang diperas majikan dari buruh pabrik, pajak yang dikutip dari pedagang kaki lima yang setiap saat diuber trantib, dan jutaan kaum pekerja lain di negeri ini....