Sunday, April 13, 2008

“Fitna” Versus Rei dan Cinta

KATA “Fitna” tiba-tiba riuh disebut di mana-mana. Adalah http://www.liveleak.com/, sebuah situs video yang kali pertama memasang film berdurasi 17 menit itu. Ya, “Fitna” adalah sebuah film—tepatnya potongan gambar dan rekaman berita-- dari beragam media, yang dicomot dan disatukan secara provokatif oleh Geerts Wilder, politikus partai kebebasan (Partij voor de Vrijheid) Belanda.

Boleh jadi film cekak itu tak akan menggegerkan jika tidak ditambahi dengan kata-kata, gambar, dan cuplikan ayat-ayat Alquran yang dicomot sebagian, demi membenarkan pandangan Wilders bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan serta kebencian. Tentu saja hal itu dianggap menghina dan melecehkan umat muslim dunia.

Saya menonton cuplikan film itu di http://www.youtube.com/, sepekan sebelum pemerintah meminta agar situs-situs yang menayangkan “Fitna”diblokir. Film itu dibuka dengan gambar pria berjenggot tebal,alis tebal, mata sangar, dan mengenakan sorban dengan bom di atasnya. Kita ingat, ini adalah kartun ciptaan Kurt Westegaard yang dimuat di koran Denmark, Jyllands-Posten, yang juga memicu kemarahan umat muslim 3 tahun silam.

Setelah itu, Wilders mulai mengutip ayat Alquran secara parsial dan sembarangan. Dimulai dengan surat An-Anfaal ayat 60, yang hanya dicuplik separo : “Prepare from them whatever force and cavarly ye are able of gathering. To strike terror, to strike terror into the hearts of the enemies, of Allah and your enemies.”

Sepanjang durasi film itu, Wilders hendak menyampaikan bahwa Islam adalah horor. Ia memasukkan gambar saat pesawat menabrak menara WTC, 11 September 2001. Juga peristiwa pengeboman stasiun kereta Atocha, Madrid, Spanyol, 2004, disertai gambar-gambar orang yang panik, tubuh yang terbakar, darah yang menggenang, serta musik yang menambah syahdu. Tak hanya itu, Wilders mengutip ayat lain, yaitu surat An-Nisaa ayat 56 dan 89, serta surat Muhammad ayat 4 di antara cuplikan gambar-gambar itu, sebelum akhirnya ditutup dengan khotbah :’’ Allah is happy when nonmuslim get killed.’’



Kontroversi “Fitna” mengingatkan saya pada Renjani, karib saya yang kini bermukim di Belanda. Kawan saya itu menikah dengan Wilbert, lelaki kelahiran Wageningen, Belanda, yang juga anti Islam.

Rei—begitu ia biasa disapa-- dan Wilbert bertemu di sebuah forum aktivis LSM, di Jerman. Mereka jatuh cinta dalam situasi yang absurd. Rei adalah muslim yang taat, sementara Wilbert, sejatinya dibaptis Nasrani, namun kemudian memilih menjadi atheis yang rada anti-Islam.

Setahun yang lalu, saya terkejut ketika membaca pesan pendeknya yang berbunyi:

’’Aku dan Wilbert segera menikah. Dengan dua kalimat syahadat. Setelah itu kami akan tinggal di Wageningen meski Wilbert harus mondar-mandir Kosovo-Belanda,’’ tulisnya sembari tak lupa menempelkan ikon smiley di layar pesan pendek itu.

Ternyata setelah satu tahun berpacaran, mereka banyak berdiskusi tentang Islam. Pandangan Wilbert bahwa Islam identik dengan kekerasan, ultrakanan, serta teror, tertepis manakala ia bolak-balik berkunjung ke tempat tinggal Rei di Semarang. Ketika berada di Indonesia itulah, ia merasakan betapa toleran keluarga dan tetangga Rei menyikapi perbedaan.

‘’ Belakangan Wilbert belajar sholat. Tadi siang ia ke masjid, ikut ayah Jumatan,’’ kata Rei suatu ketika.

Terlepas dari keduanya yang dapat menyikapi berbedaan dengan bijak, toh Rei menemui kendala tatkala hendak pindah ke Belanda. Negeri kincir angin itu menerapkan aturan yang sangat ketat untuk warga negara asing yang diperistri oleh orang Belanda, terlebih pendatang muslim. Namun cinta membuatnya pantang menyerah. Perbedaan agama, kata Rei, bukan soal, karena agama hanyalah jalan. Sedangkan Ketuhanan itu tujuan yang universal, bisa diraih dengan jalan apa saja. Keyakinan itu rupanya mujarab. Buktinya, hingga kini mereka rukun-rukun saja, tak peduli ada “Fitna”. (*)