Saturday, October 6, 2007

# Amplop

SIANG tadi, di kantor, lagi-lagi orang-orang perusahaan itu menghampiri mejaku. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang istimewa. Sebagai pegawai pemerintah yang memproses perizinan, hampir tiap hari aku selalu kedatangan orang dengan beragam urusan; mulai dari menanyakan kemajuan dokumen perizinan yang sedang diajukan, meminta asistensi, menanyakan informasi, atau sekadar mampir untuk menyapa.
Tetapi tamu siang tadi punya kepentingan lain. Setelah sedikit berbasa-basi menanyakan kemajuan dokumen yang sedang kuproses, tiba-tiba tamu itu menyelipkan sepucuk “amplop” di bawah lembar-lembar peta lokasi yang sedang kuperiksa.

‘’ Maaf, apa ini, Pak?,’’ tanyaku.

‘’ Bukan apa-apa, hanya sekadar tanda untuk menyambung tali silaturahmi,’’ jawab tamu itu.

Mencium gelagat yang tak mengenakkan, aku berusaha menampik.

‘’ Saya kira tidak perlu, Pak. Maaf, saya tidak bisa menerima, ‘’ desakku
.
Tetapi rupanya dia tak patah arang, dan ganti mendesak.

‘’ Ini sekadar tandha tresna (tanda cinta) dari kami, Bu. Tidak ada maksud apa-apa,’’ tukasnya. Ia pun bergegas meninggalkan mejaku.

Sebulan yang lalu, orang dari perusahaan yang sama juga melakukan usaha serupa. Kala itu, seorang kerani ditugasi untuk mengantarkan titipan—yang tak lain juga “amplop”—kepadaku. Alhasil, waktu itu, titipan itu tak singgah lama di mejaku. Tentu saja, kutolak dengan sopan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada si pemberi.
Gagal dengan usaha kerani, kali ini sang direktur yang datang. Dengan jurus tandha tresna, dan demi menghindari tuduhan “sok suci” dari rekan-rekan sekantor yang mencuri pandang percakapanku dengan sang tamu, aku pun dibuat tak berkutik.

Ini bukan kali pertama aku dibuat tak berkutik oleh orang-orang yang berusaha “menyuap”.

‘’ Sudahlah Pak, tanpa pemberian ini pun dokumen perizinan Bapak tetap akan kami proses,’’ ujarku setiap kali mengelak menerima pemberian.

Menolak menerima “amplop” bukan berarti aku sok suci. Sebagai pegawai golongan III dengan gaji Rp 1 juta sebulan yang harus hidup di Jakarta, “amplop” merupakan godaan yang menggiurkan.
Belum lagi menjaga relasi dengan rekan-rekan sekantor yang menganggap pemberian sebagai sesuatu hal yang biasa, bahkan mengharapkannya secara berlebihan.

Bagiku itu bukan hal mudah. Di satu sisi, hati kecilku menolak karena takut. Bagaimana aku tidak takut? Setiap pemberian dari orang yang sedang berurusan dengan birokrasi pasti mengandung maksud tertentu.

‘’ Seprofesional apapun menghadapinya, kau akan sulit bersikap netral ketika sudah menerima uang pelicin,’’ kata hatiku nyaring.

Belum lagi sederet aturan yang melarang seorang pegawai pemerintah menerima pemberian yang patut diduga sebagai gratifikasi. Apalagi hampir setiap hari, televisi dan koran ramai memberitakan petinggi lembaga negara yang ditangkap basah KPK sedang menerima suap. Meski nilai rupiah yang mampir ke mejaku jauh lebih kecil dibanding para petinggi negara yang terhormat itu, tentu saja aku begidik.

Tetapi di sisi lain aku harus berkompromi. Sebagai “pegawai kemarin sore”, aku tak kuasa menolak pemberian para pengusaha yang dibagikan secara massal di kantor. Selain enggan menyinggung perasaan para senior di kantor, aku juga tak ingin dianggap mematikan rezeki teman dengan memutus rantai “amplop”.

‘’ Terima sajalah, tetapi kau harus selektif. Jangan terima uang dari orang yang ‘bermasalah’,’’ nasehat seorang teman.

‘’ Kalau takut dosa, terima sajalah uang itu, lalu berikan kepada orang miskin. Bahasa keren-nya, ibarat money laundering-lah,’’ saran teman yang lain.

Mendengar semua saran itu, aku hanya bisa tersenyum kecut. Apalagi jika mengingat “amplop-amplop” yang tak kuasa kutolak itu isinya mengalir ke tangan Mang Ebi, tukang kebun yang kesusahan membayar SPP dua anaknya, atau Emak—pembantu ibu kos-- yang suaminya sakit.

‘’ Apa iya, sedekah dengan ‘uang panas’ itu barokah? ‘’ batinku.

Dan seperti kejadian yang sudah-sudah manakala aku dibuat tak berkutik oleh urusan “amplop”, aku hanya bisa termenung. Di dalam laci, “amplop” dengan isi tebal itu belum tersentuh. Tetapi kali ini tekadku bulat, “amplop” dari tamu tadi siang itu harus kukembalikan. (*)

1 comment: