Sunday, September 23, 2007

Warong Babah di Citadel Weg



Pengantar :
Bagi para pencinta kuliner, Resto Babah di bilangan Monas yang menyajikan aneka hidangan tempo doeloe tentu bukan tempat asing untuk disinggahi. Beberapa waktu lalu, seorang kawan mentraktir makan-makan di tempat itu. Dan inilah kesan tentang resto yang satu ini.


“Babah Kam…, Babah Kam…. Slamet sore Babah Kam, silaken masoek di saja poenja tempat,’’ ini soeara soenggoe sedjoek di ini sore njang amper kailangan srengenge. Ini samboetan anget ada dari itoe Hoedjin Siti Zain, binik dari Engkoh Tjah Mao Sang njang ampoenja ini warong Shanghai 1920 di Soenda Kelapa.


DERETAN kalimat berbahasa Melayu-Peranakan itu syahdan merupakan tulisan orisinil yang dicuplik dari ingatan Engkoh Heng Kam, dari Volksraadlid Batavia. Kenangan itu semula ditulis dalam bahasa Belanda, tetapi kemudian ditranslasikan ke dalam bahasa “Babah Melayu”.
Dengan desain tiga koloman, kenangan Babah Kam tentang Imlek di Sunda Kelapa tahun 1920, di-lay out mirip betul dengan berita surat kabar. Tetapi tunggu dulu, di bagian paling atas guntingan artikel itu, tertera identitas “Koran the Dapoer Babah-Pengoemoeman Special!”
Ya, artikel tempo doeloe itu dapat Anda temukan di Restoran Dapur Babah, di Citadel Weg (kini beralih nama menjadi Jalan Veteran, Jakarta Pusat). Terletak tak jauh dari Monas, resto yang menyajikan masakan peranakan Tionghoa itu tak pernah sepi pengunjung.

Untuk kota metropolitan sekelas Jakarta, Dapur Babah yang menempati gedung kuno bekas rumah syekh Yaman itu seolah jadi anomali. Kota dengan puluhan mal dan hipermarket itu lebih banyak menyediakan restoran cepat saji.
Tetapi pemilik Dapur Babah berpikir lain. Anhar Setjadibrata, pemilik sekaligus desainer restoran masakan peranakan seolah ingin membawa tamu-tamunya menjelajahi kultur peranakan Tionghoa. Tidak hanya lewat masakan, pemilik Hotel Tugu Grup ini juga mengajak berselancar lewat bahasa dan cerita.

Lihat saja bagaimana dia menggelitik syaraf penasaran pengunjung dengan menaruh “pengumuman” itu di setiap meja. Bisa diterka, pengelola resto ingin mengajak tamunya, membayangkan kehidupan peranakan Tionghoa di Batavia pada abad ke-19.

Dapur Babah kembali mengingatkan orang pada kepiawaian peranakan Tionghoa mengolah rempah-rempah menjadi sajian lezat.
Istilah “babah” sebenarnya digunakan untuk menyebut keturunan hasil perkawinan campur antara lelaki Tionghoa dengan perempuan Jawa atau Belanda. Demi harmonisasi rumah tangga, Nyonya (sebutan untuk istri Babah) dan Bedinde (pelayan) bereksperimen supaya cita rasa masakan pas di lidah semua anggota keluarga.
Sayang, pelayan yang berjasa mencipta resep acap dilupakan. Itu sebabnya, Dapur Babah melekatkan nama pelayan pada makanan. Dedikasi untuk Djebrak, Su, dan Mbok Mon, misalnya, direkatkan pada nasi goreng seharga Rp 50 ribuan/porsi; Sampir untuk Fuyounghai tahu seharga Rp 60 ribuan; Ncik Hwa untuk lodeh kacang tolo dan cecek; Ncik Djien untuk bubur tauco; serta Mak Kwie untuk lemper dan bloeder.
Tidak hanya lewat makanan, Dapur Babah secara khusus juga mengenang keluarga Oei Tiong Ham (peranakan kaya di Jawa pada abad 19) dan Oei Tambah Sia, yang dikenal doyan makan.
Di beranda muka, dipajang lukisan dan potret besar Oei Tiong Ham bersama istrinya, Angela Oei Tiong Ham.
‘’Itu bukan foto keluarga pemilik restoran. Hanya tengara percampuran kultur,’’ ujar seorang pelayan yang merangkap sebagai guide.
Tak jauh dari beranda, terpacak emblem besar VOC dari abad ke-17 yang tampak usang dimakan usia. Tepat di belakangnya, ada sekat ruangan berukir gaya Dinasti Ming yang menghubungkan ruang tengah dan ruang belakang.
Bila terus berjalan ke beranda belakang, orang akan melihat replika dapur Bedinde. Bertolak belakang dengan ruang makan yang temaram, teras setengah terbuka di beranda belakang justru terang benderang.
Puluhan gerabah dan peralatan masak dipajang di sana. Tak lupa, Dewa Pelindung tercagak, mengingatkan ketaatan pelayan beragama Konghucu dan Tao yang meminta keselamatan dari-Nya.(*)

1 comment: