Saturday, March 28, 2009

Kritik atas Monoteisme

Bilangan Fu (Bagian 2)

TAK banyak pemeluk agama yang mau melakukan otokritik terhadap praktik beragamanya. Tetapi Ayu Utami, penulis novel “Bilangan Fu” berani melakukan itu.
Kenapa monoteisme begitu tidak tahan pada perbedaan? Ia memulai otokritik dengan pertanyaan ini. Sebab kecenderungan ini begitu kuat pada agama-agama Semit, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam.
‘’Bahwa ada dalil-dalil yang mendasari sikap anti terhadap nilai lain (“anti-liyan”) harus diakui sebagai persoalan mendasar monoteisme. Kita harus berani mengakui bahwa monoteisme berkehendak memonopoli kebenaran.’’ tulisnya.

Kehadiran dalil-dalil “anti-liyan” sangat mencolok dalam monoteisme, terutama jika dibandingkan dengan agama-agama yang tumbuh di Asia Tengah sampai ke Timur seperti Hindu, Buddha, Tao, Konghucu, Shinto. Agama-agama ini memiliki sistem yang sangat berbeda dengan monoteisme, dan sangat sulit dimengerti oleh kaum monoteis ortodoks.

Pada “Bilangan Fu”, kita menemukan semacam hipotesis yang ingin menjawab pertanyaan mengapa monoteisme cenderung “anti-liyan”.
Perbedaan mendasarnya, kata penulis buku ini, terdapat pada bilangan yang dijadikan metafora bagi inti falsafah masing-masing. Agama-agama timur sangat menekankan konsep ketiadaan, kekosongan, sekaligus keutuhan. Konsep ini ada dalam kata sunyi, suwung, sunyat, shunya. Konsep ini ada pada bilangan nol. Sebaliknya, monoteisme menekankan bilangan satu. Tuhan mereka adalah SATU. Demikian hipotesisnya.

Revolusi Bilangan Nol

Bilangan Fu (Bagian-3)

KAWAN, saya masih ingin bercerita tentang "Bilangan Fu" dan kritik penulisnya atas monoteisme. Maka, mari sedikit menelusuri asal-usul bilangan nol.
Jauh sebelum masehi, orang India telah memiliki konsep filosofis mengenai kekosongan dan ketiadaan. Konsep itu ada pada kata “shunya”. Kata ini dilambangkan dengan : shunya-kha (yaitu spasi kosong), shunya-bindi (yaitu titik), dan shunya-cakra (lingkaran, O).
Inilah konsep yang kemudian berkembang menjadi bilangan 0. Bilangan yang ditemukan bersama ditemukannya posisi numerasi.

Dalam kitab India yang berjudul Brahmasputa Siddhanta, artinya “sistem Brahma yang direvisi”, nol dan posisi numerasi telah dipraktikkan. Kitab ini menjadi salah satu kekayaan yang dipersembahkan kepada Sultan Al Mansur di Baghdad untuk selanjutnya disimpan di Baitul Hikmat. Singkatnya, setelah Bangsa Eropa menemukah khazanah pustaka Baitul Hikmat, bilangan 0 dan numerasi menjadi bagian dari matematika yang pasti dan logis.

Maka, penemuan nol adalah revolusi dalam pikiran manusia. Ketika nol
belum ditemukan, sesungguhnya bilangan tidak hanya matematis. Masalahnya bermula ketika shunya menjadi bilangan nol. Shunya yang metaforis dan spiritual menjadi matematis dan rasional.
Dan bilangan nol dirumuskan kepada dunia monoteis pada abad ke-8, seabad setelah wahyu monoteis yang terakhir turun.
Seandainya Musa mengenal konsep shunya, atau mengenal nol yang spiritual, akankah dia merumuskan Tuhan sebagai shunya ? Yaitu yang kosong sekaligus penuh, tidak berupa, tidak berbatas, tidak berbanding, dan maha?
Seandainya dulu Bani Israel mengenal shunya, akankah Tuhan merumuskan dirinya sebagai shunya, dan bukan satu ?

Entahlah. Yang jelas, sejak bilangan nol ditemukan, sikap matematis telah menguasai makna bilangan. Orang tak bisa lagi melihat kualitas bilangan yang liris, metaforis, dan spiritual.

Maka mulailah manusia menerapkan yang puitis itu secara matematis, yang spiritual secara rasional. Tuhan yang sejak dulu mengelak dinamai, kini diringkus ke dalam angka. Tiada lagi tempat bagi misteri.

Saturday, March 21, 2009

Bilangan Fu (Bagian- 1)

BILA anda termasuk golongan pemeluk agama yang cenderung fanatik, buku ini boleh jadi terasa terlalu menyentil. Tetapi bagi anda yang cenderung berpikir terbuka, “Bilangan Fu”, demikian judul novel terbaru Ayu Utami, justru membuka cakrawala untuk merenungkan kembali konsep keimanan dan ketuhanan.

Seperti novel-novel karya Ayu yang lain, “Bilangan Fu” mendobrak kemapanan berpikir. Kali ini, konsep Ketuhanan Yang Esa-lah yang dikritisinya. “Spiritualisme kritis”, begitu Ayu menamai nafas novelnya.

Novel ini berangkat dari tiga tokoh utama – Yudha “si iblis”, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat, Parang Jati, “si malaikat”, pemuda berjari duabelas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung beban dunia, dan Marja “si manusia”, seorang gadis bertubuh kuda teji dan berjiwa matahari. Mereka terlibat dalam cinta segitiga yang lembut, di antara pengalaman keras dalam ekspedisi panjat tebing sampai pada penyelamatan perbukitan kapur di selatan Jawa.

Tak sekadar bercerita tentang cinta segitiga, novel ini mengajak pembaca untuk menyelami tradisi purba yang sarat metafora.
Melalui karakter Parang Jati, Ayu menyodorkan cara pandang yang lebih arif tentang spiritualisme. Tradisi purba—seperti menaruh sesaji pada tempat-tempat yang dianggap keramat, melarung persembahan—mestinya tak dipahami an sich sebagai penyembahan pada berhala atau mempersekutukan Tuhan.
‘’Jika dalam sebuah tradisi, kepercayaan tentang siluman dan roh penguasa alam ternyata berfungsi untuk membuat masyarakat menjaga hutan dan air, apa yang jahat dengan kepercayaan demikian? Tidakkah ia setara dengan perintah Tuhan untuk memelihara pohon?’’ tulisnya.

Sikap mengkeramatkan tak dapat dilepaskan dari cara pandang bahwa seluruh alam raya ini ada yang punya, sehingga kita tidak boleh menjarah seenak sendiri. Kita harus kulo nuwun, harus permisi, ketika mengambil apa-apa dari sana. Dan tentu saja, harus tahu batas.
Dengan keterbukaan berpikir seperti itu, kita akan lebih arif menyikapi tradisi lain. Dengan cara pandang seperti itu, kita tak mudah menghakimi keyakinan lain dengan kacamata kita.

Monday, February 2, 2009

Katakan dengan Kamera


ANDA menyukai fotografi? Jika jawabnya ya, maka Anda mungkin salah satu orang yang biasa mengabadikan keadaan, kejadian, atau peristiwa, melalui lensa kamera. Para fotografer jurnalistik misalnya, bisa “bercerita” tentang suatu kejadian tanpa perlu mengetik berbaris-baris kata. 
Simak saja wawancara Andy F Noya pada sejumlah fotografer jurnalistik pada acara talk show Kick Andy Episode “Saksi Mata”. Para fotografer atau kamerawan kerap menjadi saksi mata peristiwa, yang menimbulkan dilema atau pergolakan batin dan nurani, emosi, serta naluri kemanusiaan mereka. Namun pada saat yang sama, mereka harus memenuhi tuntutan independensi dan profesionalisme kewartawanan.

Seperti dikisahkan fotografer Kompas, Julian Sihombing. Julian yang meliput peristiwa unjuk rasa mahasiswa berujung kerusuhan Mei 1998, harus menyesali diri beberapa waktu lamanya, karena tak sempat menolong seorang mahasiswi Universitas Trisakti yang terjatuh dan kejang-kejang tergeletak di aspal.

Foto mahasiswi yang tergeletak itu menghentakkan rasa kemanusiaan kita lantaran nyawa seolah tak berharga saat chaos itu terjadi. Namun apa yang sebenarnya terjadi? 
‘’Mahasiswi itu selamat karena ditolong oleh seseorang. Namun tak sempat ditangkap oleh lensa kamera,’’ ungkap Andy.

Itulah kenapa bagi saya, foto tetaplah “realitas kedua”. Ia adalah gambar yang tak lepas dari sudut pandang si pengambil gambar. Foto—gambar yang dibatasi oleh frame, fokus, dan angle (sudut pandang) itu—menjadi representasi atas apa yang ingin diungkapkan oleh pemotretnya. 

Seorang kawan yang berprofesi sebagai foodstylist bercerita kalau ia “tega” menambahkan pewarna, atau bahan-bahan plastik ke dalam “masakan” yang hendak dipotret. 

‘’Supaya kelihatan menarik walau tidak layak untuk dimakan’’ kelakarnya. 

Namun terlepas dari semua itu, kita patut berterima kasih kepada seni fotografi. Sebab ia memungkinkan kita mengabadikan sebuah peristiwa, merekam keelokan alam, atau mengabadikan setiap kenangan melalui gambar..



Tuesday, January 27, 2009

Sewindu

HARI ini, 27 Januari, tepat sewindu kami menjalin pertemanan. Lebih dari sekadar pertemanan malah, tetapi juga persahabatan, persaudaraan, dan harapan untuk membangun sebuah keluarga kecil dengan anak-anak yang lucu.
Ya, delapan tahun. Konon angka delapan memiliki arti khusus. Dari browsing ala kadarnya di internet, saya menemukan ulasan tentang The Mystery of Numbers karya Annemarie Schimmel. Pada bab 17 buku itu, Schimmel membubuhkan judul yang berbunyi, “Delapan: Angka Keberuntungan”.
Schimmel, yang juga dikenal sebagai penafsir puisi-puisi mistik Muhammad Iqbal, menyebut bahwa bintang bertitik delapan atau oktagon pada masa silam dipercaya orang-orang Yahudi dan Kristen sebagai simbol keberuntungan. Makam-makam St Priscilla di Roma, kata Schimmel, amat banyak dihiasi simbol-simbol oktagon, selain gambar Perawan Maria.
Begitu pula dalam kepercayaan bangsa Tionghoa, delapan adalah simbol kesempurnaan dan keberuntungan. Angka delapan yang ditulis dengan garis yang terus tersambung dari titik awal sampai titik akhir tanpa putus adalah simbol kesempurnaan.
Begitu pula dengan mitologi Delapan Dewa atau dalam bahasa Mandarin disebut Ba Xian(Hanzi:八仙) yang berasal dari tradisi Taoisme, merupakan dewa-dewi yang amat dikenal dalam tradisi literatur dan seni Tiongkok.
Mereka ( Zhong Li Quan, Li Tie Guai, Lu Dong Bin, Zhang Guo Lao, He Xian Gu, Lan Cai He, Han Xiang Zi, Cao Guo Jiu) adalah simbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Masing-masing dewa mewakili 8 kondisi kehidupan : anak muda, lansia, kemiskinan, kekayaan, rakyat jelata, ningrat, pria dan wanita.
Wikipedia menyebutkan, mitologi Delapan Dewa lahir pada jaman dinasti Tang dan dinasti Sung. Walaupun penjelasan mengenai mereka telah ada sejak dinasti Tang, namun pengelompokkan ke dalam kategori delapan dewa baru terjadi pada masa dinasti Ming.
Apapun itu, bolehlah saya berharap ulang tahun sewindu kali ini menjadi momen yang membahagiakan, sekaligus menabalkan tekad untuk meraih mimpi-mimpi. “Happy Anniversary”...