Tuesday, March 11, 2008

Freedom from Hunger



KELAPARAN mengakhiri hidup Basse dan Bahir. Perempuan beserta janin yang dikandungnya, dan anak lelaki berusia 5 tahun itu tak sanggup lagi menanggung lapar yang mendera. Tiga hari keluarga itu tak makan.

Basse adalah istri Basri, 40 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak di Makassar. Keluarga ini memiliki empat orang anak, dan hidup serba kekurangan. Tak ada yang peduli, hingga ironi yang merenggut dua nyawa itu terjadi.

Setelah itu, semua seolah sibuk memberi perhatian agar tak disalahkan. Tiga anak Basse lainnya – yang juga menderita gizi buruk—buru-buru dilarikan ke Rumah Sakit Haji, Makassar. Pejabat pemda bersigegap menggelar konferensi pers, bahwa mereka bersedia menanggung semua biaya pengobatan, bahkan berjanji mengongkosi biaya pendidikan Aco (3 tahun)-- salah satu anak Basse yang menderita gizi buruk.

‘’ Harga pangan makin mahal, Dik. Beras sekarang Rp 6 ribu, minyak goreng Rp 12 ribu, susu Rp 40 ribu, telur ayam Rp 12 ribu, daging sapi malah Rp 70 ribu. Belum lagi minyak tanah susah, bensin mahal,’’ keluh Bu Mul, rekan saya di kantor.

Saya tidak bisa membayangkan betapa susah hidup Basri dan keluarganya di Makassar sana. Sebagai tukang becak, penghasilannya tentu tak seberapa.

‘’ Lha wong yang pegawai macam kita saja rasanya susah. Apa lagi orang kecil macam Basri,’’ komentar seorang kawan saat menyaksikan berita kelaparan itu di televisi.

Tiba-tiba terbersit rasa bersalah di benak saya. Saya ingat manakala membuang sisa nasi kemarin sore, atau saat menghamburkan Rp 35 ribu kala memesan cheesy bite pizza hut dengan toping meatlover.

Sudah 63 tahun negeri kami merdeka. Mestinya tak ada lagi kelaparan seperti yang dialami Basse dan anaknya. Mestinya tak ada lagi rasa bersalah itu, sebab kemakmuran telah menawarkan perasaan bersalah itu.

Tetapi nyatanya tidak. Basse dan anaknya tetap mati. Selain mereka, ribuan orang yang terekspose mengalami hal serupa.

‘’ Bagaimana ya perasaan para pemimpin negeri ini melihat nasib orang-orang seperti keluarga Basse?’’ bisik bathin saya iseng.

Tiba-tiba lamunan itu buyar oleh teriakan seorang kawan dari meja belakang.

‘’ Kampret..., anggaran belum cair sudah dipotong 2 % untuk sogok sana-sini dan upeti operasional bos. Kalau tidak disawerin, kuitansi tidak diteken, duit tidak cair. Mau beli kertas dan tinta dari mana?’’ umpatnya jengkel.

Rupanya itulah jawabannya....